Minggu, 03 November 2013

Faiz Aisyah Zuraidah / 32412690
2ID01
Membangun Stategi Sosial untuk Membangun Nasionalisme yang Berkelanjutan
Nationalisme yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 tidak serta merta terbentuk seperti membalikan telapak tangan. Kemerdekaan Indonesia membutuhkan waktu dan proses, mengikuti defenisi Ernest Renan, “nationalisme sebagai semangat hidup bersama perlu ditumbuh kembangkan dan dalam prosesnya, akan dialami pasang surut”, proses tidak linear. Proses itu disebut nationalisme building, oleh karena itu, pada zaman orde baru, pembangunan disebut juga bagian dari nationalisme building dimana proses berkelanjutan tanpa henti dan tidak pernah berakhir.

Dalam semangat hidup bersama tadi, kita menjunjung beberapa pilar dasar dan salah satunya adalah semangat kerukunan dan toleransi. Toleransi dan kerukunan pun perlu ditumbuh kembangkan terus melalui pendidikan kewarganegaraan bagi seluruh bangsa dan Negara dalam wujud rentetan kehidupan perilaku para elit pemimpin bangsa yang terus menerus secara konsekuen dan konsisten. Tanpa kepemimpinan yang bijaksana, maka tujuan nasionalisme building untuk membangun bangsa dengan semangat hidup bersamam mustahil akan berhasil. Norman Cousins peringatkan “Le tragedie de la vie n est pas la mort, mais ce que nous laissons mourir en nous au cours de notre vie, tragedi kehidupan bukanlah kematian, melainkan sesuatu yang kita biarkan mati dalam diri kita selama hidup kita Jadi apa yang kita biarkan mati dalam diri bangsa Indonesia selama ini? Adalah keinginan hidup bersama yang menjadi sumpah pada 28 Oktober 1928 dan menjadi komitmen pada tanggal 17 Agustus 1945 Panggilan dan misi bagi bangsa ini secara khusus pada dasarnya adalah segera merestorasi semangat hidup bersama dengan kata lain membangun iklim kehidupan bersama yang rukun dan harmonis dan menindak tegas perbuatan- perbuatan yang berdampak pada perpecahan bangsa.

Tiap pikiran, perkataan dan perbuatan yang cenderung memecah bangsa jangan dibiarkan berkembang biak, harus kita kubur dalam-dalam, harus kita lawan setiap tindakan yang dapat memecah belah kita. Setiap kejadian yang telah terjadi kita refleksikan demi otokritik dan otokoreksi diri kita niscaya kita dapat berubah kearah yang lebih baik” Dan integral tidak boleh dipahami secara parsial atau Per Sila. Pemahaman terbatas misalnya, “Sila Ketuhanan” mudah sekali akan terjerumus dalam fanatisme atau fundamentalitasme agama tertentu dan mengklaim kebenarannya sendiri. Pemahaman “Sila Ketuhanan” haruslah disertai dengan kemauan, kesadaran serta menjamin kemanusiaan yang beradab. Persatuan Indonesia melalui persatuan dan kesatuan sosial.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan serta mampu mewujudkan kesejahteraan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (sdr).
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar