Selasa, 01 Oktober 2013

Faiz Aisyah Zuraidah 
32412690 (2ID01)




             Seandainya saya bisa menjadi Menteri Pariwisata saya akan membuat Indonesia semakin terkenal di kancah dunia dengan cara Saya akan menggiatkan promosi pariwisata di dunia, memberi kemudahan dalam pengurusan visa serta memperbaiki segala sarana dan prasarana yang sudah ada. Saya akan lebih berkonsentrasi pada daerah – daerah yang belum dikenal dunia luar. Seperti daerah Halmahera, Maluku dan daerah – daerah lainnya. Memperbaiki akses jalan serta fasilitas bagi para wisatawan, dan khusus untuk wisatawan domestik akan diberikan biaya yang cenderung lebih murah dibanding wisatawan asing. Karena salah satu permasalahan mengapa orang Indonesia lebih tertarik berlibur ke luar negeri adalah karena biaya yang dikeluarkan cenderung lebih murah dibandingkan dengan mengunjungi negaranya sendiri.


            Salah satu permasalahan lagi adalah adanya kebijakan dari beberapa negara yang meniadakan visa untuk wisatawan dari Indonesia. Selain itu saya juga akan mempermudah eksport berbagai hasil kerajinan tangan masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat luar juga tahu bagaimana kualitas produk – produk Indonesia. Saya juga akan mengadakan berbagai pertemuan dengan para mahasiswa dari negara lain, karena menurut saya remaja lebih mudah dijadikan perantara untuk menyebarkan berita tentang keindahan negara Indonesia. Mereka akan saya berikan fasilitas liburan yang lebih mudah saat berlibur di Indonesia.


           Pertukaran pelajar juga bisa dijadikan alat untuk mempromosikan negara Indonesia. Para pelajar yang akan menjalani pertukaran pelajar akan diberi bekal tentang kebudayaan Indonesia sehingga mereka dapat menceritakannya saat melakukan pertukaran ke negara – negara lain. 


Faiz Aisyah Zuraidah (32412690)
2ID01


Upacara Adat Kebo – Keboan

Masyarakat Banyuwangi yang mayoritas petani memiliki ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan. Tradisi tersebut dikenal dengan nama kebo-keboan. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.


a.      Sejarah Kebo-Keboan
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
b.      Persiapan Upacara
Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa.
Bermacam tanaman hasil bumi menghiasai di tiap jalan kampung,  sebagai simbol ungkapan syukur kepada penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan, jalan desa pun dialiri air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol waktu perputaran kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.
Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.
Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam. Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.
c.       Ritual Ider Bumi
Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagaiider bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ).
Namun sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus  ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ).
Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh "kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan angklung.
Iring-iringan berjalan pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.
Selain iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri,  acara ritual ini juga melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit,ada juga reog Ponorogo.  Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.
Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.
Kebo-keboan diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.
Setelah berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat penonton mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus menyeruduk. Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur.

Sumber :

Nama : Faiz Aisyah Zuraidah
NPM : 32412690
Kelas : 2ID01

TARI REMO

a.      Asal Usul Tari Remo


Tari Remo berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tarian ini berasal dari kecamatan Diwek Di desa Ceweng, tarian ini diciptakan oleh warga yang berprofesi sebagai pengamen tari di kala itu, memang banyak profesi tersebut di Jombang. ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah.
Menurut sejarahnya, tari remo merupakan tari yang khusus dibawakan oleh penari laki – laki. Ini berkaitan dengan lakon yang dibawakan dalam tarian ini. Pertunjukan tari remo umumnya menampilkan kisah pangeran yang berjuang dalam sebuah medan pertempuran. Sehingga sisi kemaskulinan penari sangat dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini.
Berdasarkan perkembangan sejarah tari remo, dulunya tari remo merupakan seni tari yang digunakan sebagai pembuka dalam pertunjukan ludruk atau wayang kulit jawa timuran. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dari tari remo pun mulai beralih dari pembuka pertunjukan ludruk, menjadi tarian penyambutan tamu, khususnya tamu – tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa Timur. Oleh karena itulah kini tari remo tidak hanya dibawakan oleh penari pria, namun juga oleh penari wanita. Sehingga kini muncul jenis tari remo putri. Dalam pertunjukan tari remo putri, umumnya para penari akan memakai kostum tari yang berbeda dengan kostum tari remo asli yang dibawakan oleh penari pria.

b.      Gerakan Tari Remo
Karakteristika yang paling utama dari Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristika yang lain yakni gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian ini semakin atraktif.

c.       Busana Tari Remo
Busana dari penari Remo ada berbagai macam gaya, di antaranya gaya Sawunggaling, Surabayan, Malangan, dan Jombangan. Selain itu terdapat pula busana yang khas dipakai bagi Tari Remo gaya perempuan.


·         Busana gaya Surabayan
Terdiri atas ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-18, celana sebatas pertengahan betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip di belakang. Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki berupa kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.

·         Busana Gaya Sawunggaling
Pada dasarnya busana yang dipakai sama dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.

·         Busana Gaya Malangan
Busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum.

·         Busana Gaya Jombangan
Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi.

·         Busana Remo Putri
Remo Putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.

d.      Musik Penggiring Tari Remo

Musik yang mengiringi Tari Remo ini adalah gamelan, yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang penerus, saron, gambang, gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru. Dalam pertunjukan ludruk, penari biasanya menyelakan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya.

Sumber :