Faiz Aisyah Zuraidah (32412690)
2ID01
Upacara Adat Kebo – Keboan
Masyarakat Banyuwangi yang
mayoritas petani memiliki ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan.
Tradisi tersebut dikenal dengan nama kebo-keboan. Ritual ini menggunakan
kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang
jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya
kerbau di sawah.
a.
Sejarah
Kebo-Keboan
Ritual
kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan
Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul
sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni
di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya
ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi
- red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang
tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam
kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di
bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya,
warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang
dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban
muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak
sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan
dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
b.
Persiapan
Upacara
Ritual
yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai
berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi,
hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan
dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah
mata angin yang mengelilingi desa.
Bermacam
tanaman hasil bumi menghiasai di tiap jalan kampung, sebagai simbol
ungkapan syukur kepada penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan,
jalan desa pun dialiri air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol
waktu perputaran kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.
Berbagai
pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling
kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan
sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua
warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara
ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.
Warga
menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara
dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para
sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam. Sesajen
ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam
dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang
siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa orang
bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh
adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut
menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.
c.
Ritual
Ider Bumi
Usai pesta
tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi
) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki
bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur
tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak
lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau
oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagaiider
bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ).
Namun
sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang
tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak
keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani.
Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia
kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus ( seluruh "kerbau"
dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan
mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa
).
Puluhan
kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja
dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah
mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya.
Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang
tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh
"kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan
angklung.
Iring-iringan
berjalan pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan
sesaji simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil
bumi. Di belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil
bumi ikut berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok
perempuan cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat
perempuan tua membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja
di sawah.
Selain
iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga
melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda,
dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir
seluruh kesenian adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada
gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan,
kuntulan, dan wayang kulit,ada juga reog Ponorogo. Upacara ini tidak
melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang
memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.
Perjalanan
arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari
kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini
membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi
kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka
mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.
Kebo-keboan
diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak
di tengah sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan
sawah yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut
biji yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.
Setelah
berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau
dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat
penonton mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus
menyeruduk. Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah
mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur.
Sumber
: