Permasalahan Industri
Pertambangan Freeport
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di
Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya
sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun
tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai
telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka
mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar
ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang
diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara
telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang
serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku
tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan
finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar
wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan
dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama
Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor
Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar
untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70
ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya
(sepanjang 700 km). Para petinggi Freeport
mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta
kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak
serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara
pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara
sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Pemiskinan di Papua
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang
penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk
Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di
wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk
asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang
tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi,
aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta
menimbulkan pelanggaran HAM. Timika bahkan menjadi tempat
berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi
penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan
persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan
Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran
HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu
pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan
diabaikan.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua,
bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat
dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk
Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk
asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen
penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan
sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang
mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi
penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di
pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik
propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa
setengah penduduk Papua miskin (47,99 %). Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian
bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih
PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya
alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan
pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan
kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada
ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan
berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut
4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi,
12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti
ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan
tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di
bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan
Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport
terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg
adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah
hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000,
menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di
lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.