Minggu, 31 Mei 2015

Penggunaan Air Bersih Berlebihan, Picu Krisis Air Bersih

Dalam ulasan yang ditulis oleh Fiona Harvey dari harian The Guardian, ulasan ini ditulis secara gamblang. “Ini adalah luka yang dipicu oleh diri sendiri,” ungkap Charles Vorosmarty, seorang profesor dari Cooperative Remote Sensing Science and Technology Centre. “Kami telah menemukan titik kritis dalam sistem pengairan ini. Saat ini, sekitar satu miliar orang bergantung pada air tanah yang bukan merupakan energi yang bisa diperbarui.”
Sebagian besar populasi -sekitar 4,5 miliar orang secara global- kini hidup di dalam jarak sekitar 50 kilometer dari sumber air yang sudah rusak, akibat dari polusi atau semakin mengering. Jika hal ini terus berlanjut, jutaan orang akan kehilangan sumber air bersih mereka.
Di beberapa wilayah, air laut yang mulai merembes ke daratan membuat para petani terpaksa pindah ke lokasi lainnya akibat air yang ada tidak lagi bisa digunakan. Menurut para ahli, wilayah-wilayah yang akan mengalami krisis air bersih dalam waktu dekat adalah negara-negara miskin, yang memiliki ketahanan air sangat lemah. Krisis air juga akan menimpa negara-negara yang kondisi politiknya tidak stabil, rawan konflik dan kompetisi untuk memperebutkan sumber air bersih akan meningkatkan masalah ini.
Namun bukan berarti negara maju aman dari masalah ini. Seperti misalnya di Amerika Serikat, dimana 210 juta penduduknya tinggal kurang lebih sekitar 16 kilometer dari sumber air yang sudah rusak, dan jumlah itu akan semakin meningkat sebagai akibat dari dampak perubahan iklim. Di Eropa, beberapa sumber air bersih mulai mengering akibat penggunaan secara berlebihan untuk irigasi. Polutan, atau bahan-bahan penyebab polusi juga menyebabkan maslah berat di negara-negara kaya. “Tak ada warga dunia yang akan lepas dari hal ini,” ungkap Janos Bogardy, Direktur Universitas PBB untuk Lingkungan dan Keamanan Manusia.

Faktor Penyebab Kelangkaan
Kelangkaan sumber daya alam dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor dari manusia, lingkungan itu sendiri maupun faktor lain. Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab kelangkaan.
a.   Kerusakan sumber daya alam akibat ulah manusia
Banyak sumber daya alam yang dirusak oleh manusia padahal manusia sebagai pengguna sumber daya alam harus bertanggung jawab melestarikan sumber daya alam. Contohnya adalah penebangan hutan secara liar sehingga hutan menjadi gundul dan penangkapan ikan menggunakan pukat harimau atau bom sehingga merusak ekosistem laut.
b.   Keterbatasan benda pemenuh kebutuhan di alam
Ketersediaan sumber daya alam sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sebagai pemuas kebutuhan. Namun banyak sumber daya alam yang jumlahnya terbatas dan tidak bisa diperbaharui seperti minyak bumi dan mineral tambang.
c.   Peningkatan kebutuhan lebih cepat dibanding dengan peningkatan persediaan alat pemuas kebutuhan
Seiring berjalannya waktu populasi manusia semakin meningkat, dengan begitu maka kebutuhan juga semakin meningkat dan beragam selain itu alat-alat pemenuh kebutuhan manusia masih belum memadai sehingga terjadi kelangkaan.
d.   Keterbatasan manusia dalam mengelolah sumber daya yang ada
Keterbatasan manusia dalam penguasaan teknologi dan kekurangan modal sehingga sumber daya alam tidak bisa dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin.

Mengatasi krisis air bersih
Berdasarkan kondisi air (kualitas maupun ketersediaan) di Indonesia, potensi sebagai negara yang kaya air tidak mampu menghindarkan Indonesia dari krisis air bersih. Setiap kali musim kemarau tiba berbagai daerah mengalami kekeringan air. Bahkan ketika musim penghujan pun krisis air bersih tetap mengintai lantaran surplus air yang kerap mengakibatkan banjir sehingga sumber air tidak dapat termanfaatkan.
Krisis air bersih membuat sebagian besar penduduk Indonesia musti mengkonsumsi air yang seharusnya tidak layak minum. United States Agency for International Development(USAID) dalam laporannya (2007), menyebutkan, penelitian di berbagai kota di Indonesia menunjukkan hampir 100 persen sumber air minum kita tercemar oleh bakteri  E Coli dan Coliform. Untuk mengatasi krisis air bersih paya penyelamatan lingkungan, termasuk di antaranya  penyelamatan sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Upaya penyelamatan lingkungan demi mengatasi krisis air bersih dapat dilakukan melalui:
§  Menggalakkan gerakan hemat air.
§  Menggalakkan gerakan menanam pohon seperti one man one tree (selama daur hidupnya pohon mampu menghasilkan 250 galon air).
§  Konservasi lahan, pelestarian hutan dan daerah aliran sungai (DAS).
§  Pembangunan tempat penampungan air hujan seperti situ, embung, dan waduk sehingga airnya bisa dimanfaatkan saat musim kemarau.
§  Mencegah seminimal mungkin air hujan terbuang ke laut dengan membuat sumur resapan air atau lubang resapan biopori.
§  Mengurangi pencemaran air baik oleh limbah rumah tangga, industri, pertanian maupun pertambangan.
§  Pengembangan teknologi desalinasi untuk mengolah air asin (laut) menjadi air tawar.


Sumber:


KELANGKAAN SUMBER DAYA AIR


Faktanya, dunia sudah berada di ambang masalah kelangkaan air
Kelangkaan air mungkin masalah sumberdaya paling diremehkan yang dihadapi dunia saat ini. Padahal masalah kelangkaan air sudah mulai dihadapi dunia.  Ini diungkapkan Earth Policy Institute dalam sebuah rilis, Rabu (30/7). Tujuh puluh persen dari air dunia digunakan untuk irigasi. Ini harus disadari. Tiap harinya kita minum air kira-kira 4 liter saja, akan tetapi dibutuhkan 2.000 liter air atau 500 kali lipat lebih banyak untuk memproduksi makanan yang kita konsumsi. Dalam produksi 1 ton gandum, sebanyak 1.000 ton air digunakan.
Di antara tahun 1950 sampai dengan 2000, area irigasi dunia memang tercatat naik tiga kali lipat, menjadi sekitar 700 juta hektare. Bagaimana pun, pasca beberapa dasawarsa peningkatan, pertumbuhan telah melambat drastis—perluasan hanya 9 persen dari 2000-2009. Hal ini, ditambah berkurangnya sumber-sumber air tanah, memberi sinyal bahwa dunia sudah menuju kelangkaan air. Pada hari ini terdapat 18 negara, memompa akuifer air tanah mereka secara berlebihan, di antaranya tiga negara penghasil gandum yaitu Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.
Arab Saudi adalah negara pertama yang secara terbuka memprediksi bagaimana hasil panen gandum turun akibat penipisan akuifer. Dan negaranya akan segera bergantung total pada impor baik dari pasar dunia maupun proyek-proyek pertanian luar negeri.
Sementara itu, air terjun yang sebagian besar tersembunyi, mata air-mata air mengering atau berkurang sebelum mencapai laut, sangat terlihat. Antara lain sejumlah sungai besar; Sungai Colorado di barat daya AS, Sungai Kuning di utara Tiongkok, hingga Sungai Indus di Pakistan dan Gangga di India. Pula banyak sungai kecil dan danau-danau menghilang seiring meningkatnya kebutuhan air.
Dunia sudah menghadapi masalah kelangkaan air di depan mata. Sering dikatakan bahwa perang di masa depan akan lebih mungkin perebutan air ketimbang minyak. Namun, kenyataannya kompetisi untuk air ini tengah terjadi di pasar gandum dunia. Negara-negara dengan finansial terkuat, cenderung jadi yang bernasib paling baik dalam kompetisi sengit ini. Perubahan iklim terkait perubahan hidrologis. Kenaikan temperatur rata-rata global akan berarti cuaca ekstrem: kita bicara kekeringan pada beberapa daerah, banjir pada daerah-daerah lain, serta tamatnya prediktabilitas untuk keseluruhan segi.


Sabtu, 09 Mei 2015


KELANGKAAN SUMBER DAYA ALAM
“AIR BERSIH”

Air merupakan salah satu kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia. Sumberdaya air dimanfaatkan manusia untuk berbagai sektor dan kebutuhan, mulai dari kebutuhan rumah tangga, industri, transportasi, pembangkit energi, kebutuhan kesehatan dan lain sebagainya. Melihat nilai strategis dari sumberdaya air, maka sistem manajemen sumberdaya air menjadi sangat penting artinya. Berbagai kebijakan dalam manajemen sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi krisis air yang berkelanjutan. Diberbagai tempat di belahan muka bumi, pada saat ini terjadi kekurangan sumberdaya air, yang mengakibatkan hilangnya kehidupan dan sumber-sumber kehidupan. Laporan Unesco Tahun 2003 dalam bukunya Water for people-water for life, menyatakan bahwa terkait dengan permasalahan manajemen sumberdaya air terdapat sekitar 25.000 orang meninggal dunia per hari akibat malnutrisi dan 6000 orang lainnya, yang kebanyakan anak-anak dibawah umur 5 tahun, meninggal akibat penyakit berkaitan dengan air (water-related diseases).


United Nation Millenium Declaration (2000), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghimbau kepada negara-negara anggotanya untuk menghentikan eksploitasi sumberdaya air yang mengakibatkan ketidaktersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan, melakukan pengembangan strategi manajemen sumberdaya air di tingkat regional, nasional maupun lokal menuju akses berkeadilan dan distribusi berkecukupan.


KRISIS AIR
Ketersediaan sumberdaya air sangatlah beragam secara spatial maupun temporal. Sumberdaya air dalam konteks siklus hidrologi merupakan sumberdaya yang sangat dinamis. Artinya sumberdaya tersebut senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan dinamika tersebut maka ketersediaan dan penggunaan kebutuhan sumberdaya air selalu berubah dan dinamis setiap saat. Terjadinya ketimpangan antara kebutuhan dengan ketersediaan akan menimbulkan masalah, yang kemudian disebut sebagai krisis air. Krisis air ini menurut Unesco dibagi menjadi tiga hal besar, yaitu kelangkaan air (water scarcity), kualitas air (water quality), dan bencana berkaitan dengan air (water-related disaster).


KELANGKAAN AIR (WATER SCARCITY)
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi pertumbuhan populasi dan industrialisasi. Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia paling dominan berasal dari air hujan.
Menurut Shiklomanov (1997) dalam Unesco (2003) disebutkan bahwa lebih dari 54% runoff yang dapat dimanfaatkan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apabila tingkat kebutuhan semakin lama semakin tinggi, maka dikuatirkan ketersediaan air tidak mencukupi. Pada saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 2 milyar manusia per hari terkena dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak mendapatkan air yang memadai dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang layak (WHO/UNICEF, 2000). Implikasinya jelas pada munculnya penyakit, kekurangan makanan, konflik kepentingan antara penggunaan dan keterbatasan air dalam aktivitas-aktivitas produksi dan kebutuhan sehari-hari.
Prediksi pada tahun 2050 secara mencemaskan dikemukakan bahwa 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih. Pada saat ini di negara-negara berkembang mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air minum per kapita per tahun yaitu 1.7000 m3 sebagai air bersih yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk pemenuhan aspek kesehatan. Hal ini sebagian besar terdapat di Afrika, diikuti kemudian oleh Asia dan beberapa bagian di Eropa Timur dan Amerika Selatan.
Sementara itu dalam konteks lokal di Indonesia, kelangkaan air akan sangat terlihat pada saat musim kemarau datang. Sebagai salah satu contoh, adalah fenomena di Jakarta. Ibu Kota negara ini dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari. Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005).

KUALITAS AIR (WATER QUALITY)
Meskipun secara kuantitatif terdapat keseimbangan antara jumlah air yang tersedia dengan kebutuhan yang diperlukan, namun saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Berdasarkan data UNESCO, sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian. Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya.
Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran yang diakibatkan oleh adanya limbah industri dan domestik mempunyai banyak akibat buruk. Pencemaran limbah dapat mengakibatkan menurunnya keindahan lingkungan, penyusutan sumberdaya, dan adanya wabah penyakit dan keracunan. Masuknya limbah ke dalam sungai selain memberikan dampak terhadap perubahan fisik air sungai juga memberikan dampak secara khemis dan biologis terhadap air sungai. Secara umum dampak tersebut adalah terjadinya dekomposisi bakteri aerobik, dekomposisi bakteri anaerobik, dan perubahan karakter biotik.
Di Indonesia, sebagai salah satu contoh kasus adalah kondisi pencemaran di Sungai Gajahwong Yogyakarta. Sungai Gajahwong memiliki tidak kurang dari 73 daerah pembuangan sampah, dimana 97%nya merupakan pembuangan dengan kategori sedang sampai dengan banyak, artinya produksi sampah di sepanjang daerah ini sangat besar dan sebagian besar sampahnya berasal dari warga sekitar. Apabila dilihat dari banyaknya titik-titik pembuangan sampah yang ada maka tidak mengherankan bila kualitas air sungai di Gajahwong mengalami penurunan. Hal itu antara lain terlihat dari tingginya kadar Cl yang mencapai 19,8 mg/l pada daerah titik pengamatan disekitar daerah Dayu hingga Terminal Condong Catur, dan bakteri coli yang melebihi 2400 MPN/100ml.

DAMPAK TERKAIT KRISIS AIR (WATER RELATED DISASTER)
Sumberdaya air dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana di muka bumi. Bencana alam yang terkait dengan sumberdaya air antara lain banjir, kekeringan, pencemaran air tanah, dan tsunami. Menurut data Unesco, pada Tahun 1991-2000 terdapat lebih dari 665.000 manusia meninggal dunia dalam 2.557 kejadian bencana alam. Dimana 90% diantaranya terkait dengan air.
Banjir merupakan bencana alam terbesar berkaitan dengan air. Fenomena bencana banjir merupakan salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Banjir terjadi karena beberapa hal; pertama, terjadinya penggundulan hutan dan rusaknya kawasan resapan air di daerah hulu. Seperti diketahui bahwa daerah hulu merupakan kawasan resapan yang berfungsi untuk menahan air hujan yang turun agar tidak langsung menjadi aliran permukaan dan melaju ke daerah hilir, melainkan ditahan sementara dan sebagian airnya dapat diresapkan menjadi cadangan air tanah yang memberikan kemanfaatan besar terhadap kehidupan ekologi dan ekosistem (tidak hanya manusia). Tindakan penebangan hutan dan perusakan daerah hulu tidak terlepas dari sebuah alasan untuk memenuhi kebutuhan materialitas manusia.
Kedua, beralih fungsinya penggunaan lahan di daerah hulu dari kawasan pertanian dan budidaya menjadi kawasan permukiman dan kawasan terbangun juga mengakibatkan aliran permukaan yang lebih besar ketika hujan turun. Aliran permukaan yang besar akan menyebabkan terjadinya banjir apabila kapasitas daya tampung saluran sungai dan drainase tidak mencukupi. Fenomena perkembangan permukiman juga tidak dapat dielakkan lagi seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Ketiga, banjir juga disebabkan oleh terjadinya pendangkalan di saluran sungai dan drainase akibat terjadinya erosi di daerah hulu. Dengan demikian kapasitas daya tampung menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir.
Keempat, banjir juga tidak luput dari perilaku manusia dan dampak dari pembangunan fisik perkotaan. Banyak kawasan terbuka menjadi kawasan terbangun. Daerah terbuka yang dulunya bermanfaat menjadi kawasan peresapan sekarang semakin berkurang. Implikasinya tidak ada lagi atau sangat sedikit sekali air hujan yang dapat diresapkan kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, dan sebagian besar di alirkan sebagai aliran permukaan sehingga kapasitas saluran drainase terutama di kawasan perkotaan menjadi tidak memadai.
Kelima, tidak adanya kesadaran dan kepekaan lingkungan dari perilaku masyarakat. Kegiatan pembuangan sampah dan limbah padat industri menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyumbatan aliran sungai.
Selain banjir, kekeringan juga merupakan bencana alam terkait dengan sumberdaya air. Kekurangan sumberdaya air dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) Kekeringan meteorologis yaitu keadaan suatu wilayah pada saat-saat tertentu terjadi kekurangan (defisit) air karena hujan lebih kecil daripada nilai evapotranspirasinya (penguapan air). Di wilayah ini terjadi kekurangan air pada musim kemarau sehingga masyarakat sudah terbiasa dan menyesuaikan aktivitasnya dengan iklim setempat. Hanya saja, penyimpangan musim masih dapat terjadi. Penyimpangan inilah yang sering menimbulkan bencana kekeringan. 2) Kekeringan hidrologis merupakan gejala menurunnya cadangan air (debit) sungai, waduk-waduk dan danau serta menurunnya permukaan air tanah sebagai dampak dari kejadian kekeringan. Keberadaan hutan perlu dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menyimpan air cukup, dan 3) Kekeringan pertanian, kekeringan muncul karena kadar lengas tanah di bawah titik layu permanen dan dikatakan tanaman telah mengalami cekaman air
Implikasi dari bencana kekeringan terhadap pertanian adalah berupa kegagalan panen. Sebagai contoh, gagal panen yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disebabkan minimnya curah hujan melanda 117 kecamatan mencakup 1.108 desa di 16 kabupaten/kota. Jumlah penduduk korban gagal panen mencapai 101.973 kepala keluarga (KK) atau 452.920 jiwa (Indomedia, 2005). Di berbagai daerah di Indonesia, terutama bagian timur, yang curah hujannya relatif lebih rendah dibandingkan di bagian barat, maka pada musim kemarau panjang lebih sering terkena bencana kekeringan, galgal panen dan gizi buruk.